Lamin Benung

Lamin Benung Kec. Damai Kab. Kutai Barat, Kaltim, Indonesia. Identitas Dayak Benuaq Benung yang tersisa... Miss and Love...

Selasa, 24 Juni 2008

Lagi Tentang Kutai Barat

Konflik: Jenis dan Penyebab Utama

Tingginya Konflik pengelolaan sumber Daya alam di Kutai Barat tidak jauh berbeda dengan konflik yang terjadi di daerah-daerah lain. Kita dapat membagi jenis konflik yang ada pada dua kelompok besar:

(1) Konflik Kelembagaan
Konflik kelembagaan terjadi baik di tingkat pemerntah maupun di tingkat masyarakat. Konflik ini dicirikan dengan banyaknya tumpang tindih serta ketidakjelasan pembagian peran kewenangan dan tanggungjawab dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Diketahui belum ada persepsi yang sama tentang kewenangan pengelolaan sumber daya alam antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten. Misalnya saja, Undang-undang tentang Kehutanan No. 41/1999 dalam beberapa bagian tidak bersesuaian dengan UU tentang Otonomi Daerah No 22/1999. Surat edaran dari Menteri Kehakiman Baharuddin Lopa tentang posisi Keputusan Menteri dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang dirasakan menyalahi Ketetapan MPR no III/2000. Beberapa kebijakan yang dihasilkan Pemerintah Propinsi terutama tentang perizinan pengelolaan sumber daya alam, seperti Keputusan Gubernur Propinsi Kaltim no 03/2001 tentang Kewenangan Dinas Kehutanan Propinsi juga terasa mengintervensi kewenangan Pemerintah Kabupaten.
Di tingkat pemerintah sendiri masih terlihat secara nyata adanya tumpang tindih dan ketidakjelasan pembagian peran, kewenangan dan tanggungjawab antara pemerintah pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Sedangkan pada bagian lain, pembagian peran, kewenangan dan tanggungjawab antara pemerintah secara keseluruhan dengan masyarakat juga tidak jelas.
Di tingkat masyarakat sendiri, perubahan yang cukup signifikan telah terjadi pada keadaan sosial, ekonomi dan budaya. Perubahan yang cepat dan berpengaruh secara signifikan ini tidak diikuti oleh daya adaptasi yang kuat di tingkat kelembagaan masyarakat sendiri. Sehingga seringkali terjadi konflik antara kelembagaan-kelembagan di masyarkat atau antara anggota masyarakat dnegan struktur kelembagaan yang ada.
Panjangnya daftar konflik kelembagaan ini mengakibatkan pengelolaan sumberdaya alam cenderung diselimuti oleh konflik.

(2) Konflik Keruangan
Konflik keruangan ini dicirikan dengan adanya klaim pada ruang yang sama oleh beberapa pihak baik secara lembaga, badan hukum maupun pribadi. Konflik keruangan ini diakibatkan oleh adanya pemusatan kekuasaan pengelolaan sumberdaya alam pada pemerintah. Padahal masyarakat telah memiliki sistem dan teknologi dalam pengelolaan sumberdaya alam, dan pada kenyataannya masyarakat telah tinggal tersebar di dalam dan sekitar hutan.
Keadaan ini menjadi bertambah buruk karena di tingkat pemerintah sendiri, pemusatan kekuasaan tersebut terjadi lagi di tingkat pemerintah pusat, padahal tingkat keragaman ekosistem dan keragaman budaya masayrakat hutan di Indonesia sangat tinggi. Pemusatan kekuasaan di pemerintah pusat mengakibatkan keluarnya kebijakan-kebijakan penyeragaman dalam model pengelolaan hutan. Penyeragaman untuk mengatur sesuatu yang benar-benar tidak seragam.

Klaim sekitar 71% kawasan Kutai Barat sebagai kawasan hutan negara (sekitar 47% diantaranya dibagi habis oleh konsesi HPH) yang selanjutnya dikuasai pemerintah (baca: Pemerintah Pusat) kemudian membawa konflik keruangan yang berkepanjangan dalam semua tingkatan. Hal ini terjadi karena pada pada kawasan yang sama, masyarakat telah tinggal dan hidup sejak beberapa generasi sebelum Republik ini berdiri. Dan di sisi lain Pemerintah Daerah juga mendapatkan kewenangan untuk melakukan pengaturan berdasarkan UU No.22 tahun 1999.
Dengan demikian konflik-konflik dalam pengelolaan sumberdya alam baik konflik kelembagaan maupun keruangan senyatanya telah ada sejak dimulainya eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran pada tahun 1960-an. Namun demikian, dahulu konflik ini bersifat laten dan dipaksa untuk tidak muncul ke permukaan. Sedangkan saat ini, konflik-konflik tersebut muncul di permukaan karena dipicu oleh adanya semangat ‘reformasi’ yang mengarah pada kebijakan desentralisasi dan pengakuan hak-hak rakyat (baca: Masyarakat Hukum Adat) dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Akibat yang terjadi dengan kondisi di atas, antara lain :

1. Terjadinya ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ada ;
2. Overlapping (tumpang tindih) penggunaan Lahan;
3. Ketidakjelasan tapal batas, baik batas kabupaten, kecamatan maupun batas antar desa (Administrasi VS Adat);
4. Terjadi Ketidaksesuaian antara aturan formal dengan aturan Adat;
5. Hilangnya kepercayaan diri masyarakat dalam mengelola kawasannya mengakibatkan pengelolaan sumber daya alam menjadi tidak terkendali karena sumber daya alam yang ada dianggap tampa pemilik;
6. Pengetahuan tentang Batas-batas kawasan kelola adat yang sebelumnya dipercayakan melalui asal usul sejarah menjadi kurang diyakini, akibatnya konflik batas antar Kampung terjadi dimana-mana.
(Sumber : Catatan Peta-Pihak)

Tidak ada komentar: